TAFSIR SURAT AL-‘ASHR

BISMILLAH...

Ayat 1 : Demi Masa
Ayat 2 : Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian
Ayat 3 : Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Allah Ta’ala bersumpah dengan masa. Dikatakan bahwa, yang dimaksud dengan al-‘ashr ialah waktu sore, dan waktu yang terbaik. Rasulullah SAW menamakan sholat Ashar dengan nama sholat al-wustha, artinya yang terbaik. (HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Jihad Wa as-Siyar, bab: Mendoakan orang musyrik agar mendapat kekalahan dan kegoncangan, (no.2931) Muslim, dalam kita al-Masjid, bab: Dalil bagi yang mengatakan bahwa Sholat Wustha ialah Sholat Ashar (no. 628 & 206).

Dikatakan juga bahwa al-‘ashr ialah zaman (masa). Ini adalah pendapat yang lebih benar. Allah Ta’ala bersumpah dengan masa, karena setiap perubahan kondisi, berputar baliknya suatu urusan, perbntian hari yang silih berganti dan lain-lain yang terjadi di dalam ruang lingkup masa (zaman), baik yang kita saksikan sekarang atau yang sudah berlalu. Al-‘ashr ialah masa yang mana akhluk berada di dalamnya dengan mengalami perubahan seperti sennang , susah, perang, damai, sehat, sakit, beramal shalih atau jahat dan lain-lain yang sudah dimaklumi bersama.

Allah Ta’ala bersumpah atas perkataanNya,”Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian” (ayat 2). Al-insan di sini bersifat umum. Karena menunjukkan jenis. Tanda yang menunjukkan keumuman adalah alif lam yang bermakna kullu (semua). Jika dikatakan, Kullu insaanin fii khusrin, sama artinya dengan ayat di atas. Makna ayat yang mulia tersebut ialah, Allah Ta’ala bersumpah bahwa manusia senantiasa berada dalam kerugian daan kekurangan dalam segala keadaannya di dunia dan di akhirat, terkecuali orang-orang yang dikecualikan Allah ‘Azza wa Jalla. Jumlah (kalimat) ini dikuatkan dengan tiga huruf penegas:
            Pertama: Sumpah
            Kedua  : Huruf inna,
            Ketiga  : Lam at-taukid

Kemudian diteruskan dengan firmanNya, Lafii khusrin. Kalimat ini lebih tegas dari pada, Lakhaa sirin, sebab huruf fi azh-zharfiyah meng isyaratkan bahwa manusia tenggelam dalam kerugian. Yaitu kerugian yang senantiasa menyelimutinya dari segala sisi.

“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (Ayat 3)

Allah Ta’ala mengecualikan orang-orang yang mempunyai empat kriteria. Kriteria yang pertama yaitu: Keimanan yang tidak dicampuri dengan keraguan dan kebimbangan terhadap perkara iman yang dijelaskan Rasulullah SAW saat ditanya Jibril. Rasulullah SAW menjelaskannya ketika Jibril datang dan bertanya tentang iman, Rasulullah SAW bersabda:
            “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari akhirat, dan beriman kepada qadar baik dan buruk”

Siapa yang beriman dengan prinsip yang enam ini, merekalah yang disebut orang yang beriman. Keimanan tersebut harus bersih dari keraguan dan kebimbangan. Artinya, engkau beriman dengan rukun yang enam ini, seolah-olah engkau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri. Dalam permasalahan ini, manusia terbagi menjadi tiga:
            Pertama: mereka yang mempunyai keimanan yang murni tanpa keraguan sedikit pun.
            Kedua  : orang kafir yang mengingkari rukun tersebut.
            Ketiga  : mereeka yang masih ragu dengan rukun tersebut.

Yang selamat di antara tiga golongan ini ialah golongan yang pertama yang mempunyai keimanan dengan tanpa keraguan. Beriman akan adanya Allah, kerububiyahanNya, keuluhiyahanNya, dengan nama dan sifat-sifatNya. Beriman kepada para malaikat yang ada di alam ghaib. Allah Ta’ala menciptakan mereka dari cahaya dan memberi mereka tugas-tugas, baik yang kita ketahui maupun tidak.

Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu dari Allah Ta’ala kepada para Nabi dan Rasul. Malaikat Mikail bertugas mengurusi hujan dan tumbuh-tumbuhan. Yakni, Allah ‘Azza wa Jalla memberinyya tugas untuk mengatur hujan serta hal-hal yang berkaitan dengan hujan dan juga mengatur tumbuh-tumbuhan. Malaikat Israfil bertugas meniup sangkakala. Malaikat Malik bertugas menjaga naar (Neraka). Malikat Ridhwan bertugas menjaga jannah (Surga). Dan ada di antara para malaikat yang tidak kita ketahui nama dan tugasnya. Sebagaimana yang tertera di dalam hadits Rasulullah SAW bahwa tidak ad tempat di langit meskipun hanya selebar empat jari kecuali di sana ada malaikat yang sedang berdiri menyembah Allah, atau sedang rukuk atau sujud (HR. at-Tirmidzi, dalam kitab az-Zuhd, bab: Kalaulah engkau tahu apa yang aku ketahui... (2312). Ia berkata,”Hadits hasaan gharib”. Dari hadits Abu Dzar al-Ghifari, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, II/299)[Islam manshur Abdul Hamid].

Begitu juga kita wajib beriman dengan kitab-kitab yang diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla kepada para RasulNya ‘Alaihimus Shaltu was Salam. Kita juga wajib beriman dengan para Rasul yang telah diceritakan Allah kepada kita secara terperinci. Adapun yang tidak diceritakan kisahnya kepada kita, maka kita mengimaninya secara global. Sebab, ada Nabi dan Rasul yang tidak diceritakan Allah kepada kita. Allah berfirman dalam QS. 40 (Al-Mukmin) ayat 78. “... diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.”

Kemudian beriman dengan hari akhirat yaitu hari berbangkit. Pada saat itu manusia keluar dari kuburannya untuk diberi balasaan, mereka akan digiring dalam keadaan hufatan, ‘uratan, gharlan, buhman. Hufat yaitu tidak memakai alas kaki. ‘Urat: tidak memakai pakaian. Gharl: tidak berkhitan. Buhm: tidak mempunyai harta. Ketika Rasulullah SAW menceritakan kepada ‘Aisyah bahwa manusia digiring tanpa pakaian ia berkata, “Ya Rasulullah! Apakah lelaki dan wanita nanti tidak saling melihat?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ada urusan yang lebih besar dari yang demikian itu”, yaitu dari pada urusan saling melihat. Karena masing-masing sedang sibuk dengan urusannya sendiri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahiimallah berkata, “Beriman dengan hari akhirat yaitu beriman dengan setiap yang diberitakan Rasulullah SAW tentang apa yang terjadi setelah kematian. Engkau waajib beriman dengan adanya adzab kubur yakni adanya ujian setelah mayat dikebumikan dan pulangnya para pengantar. Ia akan didatangi dua malaikat yang bertanya tentang Rabbnya, agamanya dan Nabinya. Engkau juga wajib mengimani bahwa kuburan adalah salah satu dari taman jannah atau salah satu dari lubang naar. Artinya, di alam kubur ada adzab dan juga nikmat. Kemudian kamu wajib beriman dengan adanya jannah dan naar. Semua yang berkaitan dengan hari akhirat termasuk dalam pembahasan iman kepada Allah dan hari akhirat. Dan al-Qadar ialah takdir Allah ‘Azza wa Jalla yakni engkau wajib mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan qalam (pena) dan berkata, “Tulislah!” Pena tersebut bertanya, “Apa yang harus aku tulis?” Allah SWT berfirman, “Tulislah segala yang ada sampai Hari Kiamat”. Maka tertulislah pada saat itu apa yang terjadi sampai Hari Kiamat (Telah disebutkan takhrijnya. Dari hadits Ubadah bin Shamit. Ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah adalah al-qalam. Lalu Allah berfirman kepadanya, “Tulislah!” Maka tertulislah pada saat itu apa yang terjadi hingga Hari Kiamat”. Dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, (no. 2017)[Islam Manshur Abdul Hamid].

Kesimpulannya bahwa kata iman yang tertera dalam ayat mencakup keimanan terhadap enam rukun iman yang telah dijelaskan Rasulullah SAW.

Adapun firman Allah Ta’ala, “wa ‘amilushshoolihaati”, maknanya adalah mereka melakukan amal-amal shalih, di antaranya: sholat, zakat, shaum, haji, berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturrahim dan lain sebaginya. Tidak cukup hanya di dalam hati, bahkan harus mengamalkannya. “Ashshoolihaati” mencakup dua hal:
1.      Ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla.
2.      Mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

 Sesungguhnya setiap amal yang tidak dilandasi keikhlasan kepada Allah, akan tertolak.

Di dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan dari Nabi SAW, Allah SWT berfirman:
“Aku adalah Dzat yang Mahakaya yang tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang menyekutukan Aku dalam amalannya maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya”.

Jika engkau sholat, bersedekah, menuntut ilmu, bersilaturrahmi dan yang lainnya karena ingin dilihat oleh orang, maka amal tersebut tertolak, walaupun pada lahirnya merupakan amal shalih. Begitu juga dalam meneladani Rasul. Jika engkau melakukan amal yang  mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan niat yang ikhlas karena Allah tetapi tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW maka amal tersebut juga tidak akan diterima darimu. Sebab Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Barangsiapa melakukan amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalannya tertolak”.

Kesimpulannya, suatu amal dikatakan shalih, jika memenuhi dua syarat:
            Pertama: Ikhlas karena Allah Ta’ala.
            Kedua  : Mengikuti  sunnah Rasulullah SAW.

Firman Allah SWT, “Watawaa shaubil haqqi”, yaitu saling menasihati untuk menaati kebenaran. Kebenaran ialah syari’at. Yakni, masing-masing saling menasihati, jika ia melihat ada yang melalaikan kewajiban, maka ia memberinya nasihat: “Wahai saudaraku, laksanakanlah kewajibanmu!” Dan jika ada yang melakukan hal yang diharamkan, maka ia memberinya nasihat: “Wahai saudaraku, jauhilah hal-hal yang diharamkan!” Sehingga mereka tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain.

Firman Allah SWT, “Watawaa shaubishshabri”, yaitu satu sama lain saling menasihati agar tetap bersabar.            Sabar ialah menahan diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak layak. Para ulama membagi sabar menjadi tiga macam:
1.      Sabar dalam menaati Allah Ta’ala.
2.      Sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala.
3.      Sabar terhadap takdir Allah Ta’ala.

Sabar dalam menaati Allah, misalnya: banyak manusia yang malas dalam melaksanakan sholat berjamaah, tidak mau ke masjid, katanya, “Saya sholat di rumah saja. Saya kan juga telah melaksanakan kewajiban Sholat”, sehingga ia malas berjamaah. Hendaklah dikatakan kepadanya, “Wahai saudaraku! Sabarkanlah dirimu! Tetaplah sholat berjamaah!”

Kebanyakan manusia jika melihat zakat hartanya banyak, akan menjadi pelit dan ragu untuk membayarnya; apakah akan aku keluarkan zakat harta sebanyak ini atau tidak? Dan ungkapan semisal. Maka hendaklah dikatakan kepadanya, “Wahai saudaraku, bersabarlah untuk selalu membayar zakat”. Begitu juga dengan ibadah-ibadah yang lain. Karena ibadah itu adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala tentang Sholat: “ Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ ”. (QS. 2 (Al-Baqarah: ayat 45).

Kebanyakan hamba merasa berat dalam menjalankan ibadah. Oleh karena itu, mereka harus saling menasihati dalam menaati Allah Ta’ala.

Begitu juga sabar dalam menjauhi perbuatan maksiat. Misalnya sebagian orang telah berkecimpung dalam usaha yang diharamkan Allah Ta’ala, seperti riba, penipuan, kecurangan dan hal-hal lain yang diharamkan Allah Ta’ala. Hendaklah dikatakan kepadanya, “Sabarlah wahai saudaraku, jangan engkau bermuamalah dengan cara yang haram”. Ada yang mempunyai kebiasaan memandang wanita. Kamu dapati orang seperti ini senang berjalan-jalan di pasar, setiap kali ada wanita melintas ia akan mengamatinya. Hendaklah dikatakan kepadanya, “Bersabarlah wahai saudaraku, jauhilah hal ini”.

Begitu juga saling menasihati untuk bersabar menghadapi takdir Allah. Mungkin seseorang terserang sakit, atau hartanya hilang, atau ada di antara orang yang dicintainya meninggal, sehingga ia panik, marah dan berduka. Maka hendaklah satu sama lain saling menasihati, “Sabarlah wahai saudaraku, ini semua sudah ketentuan Allah. Kepanikan tidak akan bermanfaat sedikitpun. Larut dalam kedukaan tidak akan mengobati hati yang sedih”.

Seseorang diuji dengan meninggalnya anaknya. Hendaklah dikatakan kepadanya, “Sabarlah wahai saudaraku, anggap saja anakmu belum pernah diciptakan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada salah seorang putrinya, yang artinya:
“Sesungguhnya hanya milik Allah-lah apa yang telah Dia ambil dan yang telah Dia berikan. Segala sesuatu itu mempunyai ajal yang telah ditentukan, suruhlah ia agar bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala”.
(HR. al-Bukhari, dalam kitab Janaiz, bab: Sabda Rasulullah SAW: Mayit akan diadzab dikarenakan ratapan keluarganya, (no. 1284). Muslim dalam kitab Janaiz, bab: Meratapi mayat, (no. 923 & 11). Hadits selengkapnya:
“Dari usamah bin Zaid, ia berkata, “ Kami sedang berada di dekat Rasulullah SAW, ketika seorang di antara putri beliau menyuruh seseorang untuk memanggil beliau dan memberi kabar, bahwa anak dari putri beliau itu sedang menghadapi maut. Rasulullah SAW bersabda kepada suruhan tersebut, “Kembalilah kepadanya dan katakan, bahwa sesungguhnya milik Allah-lah apa yang telah Dia ambil dan milik Allah pula apa yang telah Dia berikan. Segala sesuatu di sisiNya adalah dengan batas waktu tertentu. Suruhlah dia untuk bersabar dan mengharap pahala”.
Utusan itu kembali dan berkata, “Dia berjanji akan memenuhi pesan-pesan itu”
Lalu Nabi SAW berdiri diikuti oleh Sa’ad bin Ubadah dan Mu’adz bin Jabal. Akupun (Usamah bin Zaid)  ikut berangkat bersaama mereka. Kepada Rasulullah SAW diserahkan anak (dari putri beliau) yang nyawanya bergerak-gerak seakan-akan berada di dalam qirbah (tempat air) yang lusuh. Maka kedua mata Rasulullah SAW menitikkan air mata. Melihat itu Sa’ad bertanya, “Apa artinya air mata, ya Rasulullah?”
Rasulullah SAW bersabda, “Ini adalah rahmat (belas kasih) yang diletakkan oleh Allah di hati para hambaNya. Sesungguhnya Allah mengasihi para hambaNya yang belas kasih”.

Semua urusan itu berada di tangan Allah Ta’ala. Jika Dia mengambil kepunyaanNya, bagaimana kamu dapat menghalangi dan memarahiNya?

Jika dikatakan:

Manakah jenis sabar yang paling susah untuk dilakukan?

Jawabannya:

Berbeda-beda. Sebagian orang sangat kesulitan untuk melaksanakan ketaatan. Sebagian lagi malah sebaliknya, mudah untuk melaksanakan ketaatan, tetapi sulit untuk meninggalkan kemaksiatan. Ada juga sebagian orang yang mudah untuk sabar di atas ketaatan dan sabar dalam menjauhkan dirinya dari kemaksiatan, tetapi tidak dapat bersabar ketika mendapat musibah, jiwanya menjadi tergoncang bahkan dapat menyeretnya keluar dari Islam. Wal ‘iyaadzu billah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah 22 (Al-Hajji) ayat 11, yang artinya:
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”.

Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita ambil dari surah Al-‘Ashr ini adalah, Allah SWT telah menegaskan sumpahNya dengan huruf taukid inna dan lam bahwasanya seluruh manusia berada dalam kerugian. Kerugian tersebut mengelilinginya dari segala sisi, kecuali yang mempunyai empat kriteria ini: beriman, beramal shalih, saaling menasihati dalam menaati kebenaran dan saling menasihati dalam menapaki kesabaran.

Berkata Imam Syafi’i Rahimallahu, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas hambaNya selain surat ini, niscaya telah cukup untuk mereka”. Artinya, sudah cukup bagi mereka sebagai peringatan dan dorongan agar mereka berpegang teguh dengan keimanan, beramal shalih, berdakwah kepada Allah dan tetap sabar dalam mengembannya. Jadi tidak berarti bahwa surah ini telah mencukupi manusia dalam syariat agama secara keseluruhan, namun sudah memadai sebagai peringatan.

Setiap manusia yang berakal mengetahui bahwa ia berada dalam kerugian kecuali dengan mempunyai empat kriteria ini. Sehingga ia akan berusaha dengan segenap potensi yang ada untuk memiliki empat sifat ini, agar terlepas dari kerugian. Semoga Allah SWT menjadikan kita termasuk orang-orang yang beruntung. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Semoga Bermanfaat Untuk Kita Semua...
Wassalamu’alaykum wr wb...

By: AA St. Abdurrahman, SE., MM

Disadur dari Kitab: Tafsir Juz ‘Amma

Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Dikumpulkan Oleh: Fahd bin Nashir As-Sulaiman
Tahqiq Hadits Berdasarkan:
Kitab-kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Oleh Syaikh Islam Manshur Abdul Hamid
Penerjemah: Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
Penerbit: At-Tibyan
Jumadil Awal 1437 H/ Februari 2016 M

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Pemasaran Dalam Politik Indonesia (Marketing Science in Indonesian Politics)

BAGINDA RASULULLAH MUHAMMAD SAW DALAM ANALISA ANGKA (IN NUMERIKAL ANALYSIS)

DO’A UNTUK MELENYAPKAN KESUSAHAN DAN KESEDIHAN